diiklani

Sunday, June 10, 2018

ANALISIS SOSIAL (ANSOS)



Analisis sosial atau yang lebih akrab dikenal ansos ini merupakan sebuah proses atau mekanisme yang akan membahas problematika-probelmatika yang terjadi pada sebuah objek analisa dan pada akhirnya akan menghasilkan apa sebenarnya yang menjadi akar permasalahan atas problematika-problematika tersebut. Dari sana, kita dapat menentukan apa sebenarnya yang dibutuhkan untuk dicarikan solusi yang tepat.
Inilah yang acapkali tidak dilalui oleh para problem solver. Mereka seringkali menghasilkan solusi atas problematika yang hadir bukan berdasarkan hasil analisis mendalam namun hanya berdasarkan dugaan yang argumentasinya lemah atau bahkan hanya berdasarkan pada kemauannya saja. Mungkin permasalahan yang nyata di lapangan akan terselesaikan, namun karena ia tak akan menyentuh sampai ke akarnya maka akan hadir permasalahan-permasalahan baru atau bahkan permasalahan yang nyata tersebut tidak hilang sama sekali.
PENGERTIAN ANSOS
Analisis sosial merupakan usaha untuk menganalisis sesuatu keadaan atau masalah sosial secara objektif. Analisis sosial diarahkan untuk memperoleh gambaran lengkap mengenai situasi sosial dengan menelaah kaitan-kaitan histories, struktural dan konsekuensi masalah. Analisis sosial akan mempelajari struktur sosial, mendalami fenomena-fenomena sosial, kaitan-kaitan aspek politik, ekonomi, budaya, dan agama. Sehingga akan diketahui sejauh mana terjadi perubahan sosial, bagaimana institusi sosial yang menyebabkan masalah-masalah sosial, dan juga dampak sosial yang muncul akibat masalah sosial
RUANG LINGKUP ANSOS
Pada dasarnya semua realitas sosial dapat dianalisis, namun dalam konteks transformasi sosial, maka paling tidak objek analisa sosial harus relevan dengan target perubahan sosial yang direncanakan yang sesuai dengan perubahan. Secara umum objek sosial yang dapat dianalisis antara lain;
-          Masalah-masalah sosial, seperti : kemiskinan, pelacuran, pengangguran, kriminilitas.
-          Sistem sosial, seperti : tradisi, usaha kecil atau menengah, sistem pemerintahan, sistem pertanian.
-          Lembaga-lembaga sosial seperti sekolah layanan rumah sakit, lembaga pedesaan. Kebijakan publik seperti : dampak kebijakan BBM, dampak perlakuan sebuah UU.
PENTINGNYA TEORI SOSIAL
Teori dan fakta berjalan secara simultan, teori sosial merupakan refleksi dari fakta sosial, sementara fakta sosial akan mudah dianalisis melalui teori-teori sosial. Teori sosial melibatkan isu-isu mencakup filsafat, untuk memberikan konsepsi-konsepsi hakekat aktifitas sosial dan prilaku manusia yang ditempatkan dalam realitas empiris.  Charles lemert (1993) dalam Sosial Theory ; The Multicultural And Classic Readings menyatakan bahwa teori sosial memang merupakan basis dan pijakan teknis untuk bisa survive.
Teori sosial merupakan refleksi dari sebuah pandangan dunia tertentu yang berakar pada positivisme. Menurut Anthony Giddens secara filosofis terdapat dua macam analisis sosial.  Pertama, analisis intitusional, yaitu ansos yang menekan pada keterampilan dan kesetaraan aktor yang memperlakukan institusi sebagai sumber daya dan aturan yang diproduksi terus-menerus. Kedua, analisis perilaku strategis, adalah ansos yang memberikan penekanan institusi sebagai sesuatu yang diproduksi secara sosial.
LANGKAH-LANGKAH ANSOS
Proses analisis sosial meliputi beberapa tahap antara lain :
Memilih dan menentukan objek analisis :
Pemilihan sasaran masalah harus berdasarkan pada pertimbangan rasional dalam arti realitas yang dianalisis merupakan masalah yang memiliki signifikansi sosial dan sesuai dengan visi atau misi organisasi.
Pengumpulan data atau informasi penunjang :
Untuk dapat menganalisis masalah secara utuh, maka perlu didukung dengan data dan informasi penunjang yang lengkap dan relevan, baik melalui dokumen media massa, kegiatan observasi maupun investigasi langsung di lapangan. Recek data atau informasi mutlak dilakukan untuk menguji validitas data.
Identifikasi dan analisis masalah :
Merupakan tahap menganalisis objek berdasarkan data yang telah dikumpulkan. Pemetaan beberapa variable, seperti keterkaitan aspek politik, ekonomi, budaya, dan agama dilakukan pada tahap ini. Melalui analisis secara komphrehensif diharapkan dapat memahami subtansi masalah dan menemukan saling keterkaitan antara aspek.
Mengembangkan presepsi :
Setelah diidentifikasi berbagai aspek yang mempengaruhi atau terlibat dalam masalah, selanjutnya dikembangkan presepsi atas masalah sesuai cara pandang yang objektif.  Pada tahap ini akan muncul beberapa kemungkinan implikasi konsekuensi dari objek masalah, serta pengembangan beberapa alternatif sebagai kerangka tindak lanjut.
Menarik kesimpulan :
Pada tahap ini telah diperoleh kesimpulan tentang ; akar masalah, pihak mana saja yang terlibat, pihak yang diuntungkan dan dirugikan, akibat yang dimunculkan secara politik, sosial dan ekonomi serta paradigma tindakan yang bisa dilakukan untuk proses perubahan sosial.
PERANAN ANSOS DALAM STRATEGI GERAKAN PMII
Ingat, paradigma gerakan PMII adalah kritis transformatif, artinya PMII dituntut peka dan mampu membaca realitas sosial secara objektif (kritis), sekaligus terlibat aktif dalam aksi perubahan sosial (transformatif). Transformasi sosial yang dilakukan PMII akan berjalan secara efektif jika kader PMII memiliki kesadaran kritis dalam melihat realitas sosial. Kesadaran kritis akan muncul apabila dilandasi dengan cara pandangan luas terhadap realitas sosial. Untuk dapat melakukan pembacaan sosial secara kritis, mutlak diperlakukan kemampuan analisis sosial secara baik. Artinya, strategi gerakan PMII dengan paradigma kritis transformatif akan dapat terlaksana secara efektif apabila ditopang dengan kematangan dalam analisis sosial (ANSOS).

ANALISIS WACANA

ANALISIS WACANA



Istilah analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai dalam banyak disiplin ilmu dan dengan berbagai pengertian. Meskipun ada gradasio yang besar dari berbagi definisi, titik singgungnya adalah analisis wacana berhubungan dengan studi mengenai bahasa/pemakaian bahasa. Bagaimana bahasa dipandang dalam analisis wacana? sebelum lebih jauh ada beberapa pengertian terkait dengan analisis wacana itu sendiri, di antaranya yaitu:
Wacana : sebuah percakapan khusus yang alamiah formal dan pengungkapannya diatur pada ide dalam ucapan dan tulisan ; pengungkapan dalam bentuk sebuah nasihat, risalah, dan sebagainya. (Longman Dictionary of vthe English Language)
Wacana : rentetan kalimat yang berkaitan, yang menghubungkan proposisi yang lainnya, membentuk suatu kesatuan, sehimgga terbentuklah makna yang serasi diantara kalimat-kalimat itu. (J. S. Badudu 2000)
Wacana adalah komunikasi kebahasaan yang terlihat sebagai sebuah pertukaran di antara pembicara dan pendengar, sebagai sebuah aktifitas personal dimana bentuknya ditentukan oleh tujuan sosialnya. (Hawthorn 1992)
Di sini ada beberapa perbedaan pandangan. Mohammad A. S. Hikam dalam suatu tulisannya telah membahas dengan baik perbedaan paradigma analisis wacana dalam melihat bahasa ini yang akan diringkas sebagai berikut :
Paling tidak ada tiga pandangan mengenai bahas dalam analisis wacana. Pandangan pertama diwakili oleh kaum positivisme-empiris, oleh penganut aliran ini, bahas dilihat sebagai jembatan antara manusia dengan obyek di luar dirinya. Pengalaman-pengalaman manusia dianggap dapat secara langsung diekspresikan melalui penggunaan bahasa tanpa ada kendala atau distori, sejauh ia dinyatakan dengan memakai pernyataan-pernyataan yang logis, sitaksis, dan memiliki hubungan dengan pengalaman empiri. Dalam kaitannya dengan analisis wacana, konsekuansi logis dari pemahaman ini adalah orang tidak perlu mengetahui makna-makna subjektif atau nilai-nilai yang mendasari pernyataanya. Oleh karena itu, tata bahasa, kebanaran sintaksis adalah bidang utama dari aliran positivisme-empiris tentang wacana. Analisis wacana dimaksudkan untuk menggambarkan tata aturan kalimat, bahasa, dan pengertian bersama.
Pandangan kedua, disebut sebagai konstruktivisme. Pandangan ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran fenomenologi. Aliran ini menolak pandangan positivisme-empirisme yang memisahkan subyek dan obyek bahasa. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas obyektif belaka dan yang dipisahkan dari subyek sebagai faktor sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya. oleh karena itu, analisis wacana dimaksudkan sebagai suatu analisis untuk membongkar maksud-maksud dan makna-makna tertentu. Wacana adalah suatu upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari sang subyek yang mengemukakan suatu pernyataan.
Pandangan ketiga disebut sebagai pandangan kritis. Bahasa dalam pandangan kritis dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subyek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi di dalamnya. Oleh karena itu, analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa, batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang mesti dipakai, topik apa yang dibicarakan.
Dalam analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis / CDA), wacana di sini tidak semata dipahami sebagai studi bahasa. Pada akhirnya analisis wacana memang menggunakan bahasa dalam teks untuk dianalisis, tetapi bahasa yang dianalisis di sini agak berbeda dengan studi bahasa dalam pengertian linguistik tradisional. Bahas dianalisis bukan dengan menggambarkan semata dari aspek kebahasaan, tetapi juga menghubungkan dengan konteks. konteks di sini berarti bahasa itu dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu, termasuk di dalamnya praktik kekuasaan.
Menurut Fairclough dan Wodak, analisis wacana kritis melihat wacana, pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan sebagai bentuk dari praktik sosial. Praktik wacana bisa jadi menampilkan efek ideologi, ia dapat memproduksi dan memproduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang antara kelas sosial, laki-laki dan wanita, kelompok mayoritas dan minoritas melalui mana perbedaan itu direpresentasikan dalam posisi sosial yang ditampilkan melalui wacana, sebagai contoh, keadaan yang rasis, seksis, atau ketimpangan dari kehidupan sosial dipandang sebagai suatu common sense, suatu kewajaran/alamiyah dan memang seperti itu kenyataannya.
Berikut ini disajikan karakteristik penting dari analisis wacana kritis. Bahan diambil dari tulisan Teun A. Van dijk, Fairclough, dan Wodak.
Tindakan
Prinsip pertama, wacana dipahami sebagai sebuah tindakan (action). Dengan pemahaman semacam ini mengasosiakan wacana sebagai bentuk interaksi. Orang berbicara atau menulis bukan ditafsirkan sebagai ia menulis atau berbicara untuk dirinya sendiri, seperti orang sedang mengigau atau di bawah hipnotis. Seseorang berbicara atau  menulis mempunyai maksud tertentu, baik besar maupun kecil. Wacana dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar, terkontrol, bukan sesuatu yang di luar kendali atau diekspresikan di luar kesadaran.
Konteks analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks dari wacana, seperti latar, situasi, peristiwa, dan kondisi. Wacana di sini dipandang diproduksi, dimengerti dan dianalisis pada suatu konteks tertentu.
1.       Histori
2.       Kekuasaan
3.       Ideologi
ANALISIS WACANA
Contoh dalam kasus Ahmadiyah
  1. Kelompok Enam dan Tujuh
Dilihat dari sejarah Mira Gulam Ahmad mendominasi di India yang pindah ke inggris lantas menyebarkan agama islam di sana dan terjadi perbedaan tentang nabi terakhir.
Jadi wajar ada perbedaan tentang Ahmadiyah.
  1. Kelompok Pertama
Di indonesia dianggap sebagai madzhab bukan sebagai ajaran, jadi siapa sebenarnya Mira Gulam Ahmad?
Sebenarnya Gulam Ahmad adalah seorang muslim yang taat dan kreatif menulis buku. Sebelum pindah ia sudah menulis buku yang isi di dalamnya Gulam Ahmad berkata : Aku adalah Adam, Aku adalah Ibrohim, Aku adalah Musa…….
Dari itu orang terlalu ngefans sama ia, sehingga orang-orang menganggap ia Nabi.
Intinya tidak menjustifikasikan ahmadiyah.
Pertanyaan : Andakan orang Indonesia kenapa anda tidak menjustifikasikan   Ahmadiyah?
Jawab : berdasarkan Pancasila dan Ayat Surat Al-Kafirun
  1. Kelompok  ke Tiga
Kenapa Ahmadiyah dianggap sebagai aliran sesat, mari kita simak”
Sebenarnya orang inggris ingin menghancurkan islam dari dalam, itu terbukti kenapa disebut Ahmadiyah, kalau di Indonesia lebih moderat dengan mengikuti ajaran islam dan mengakui Nabi Muhammad sebagai Nabi, tapi dalam kenyataan menyalahi aturan. Intinya Ahmadiyah dianggap sesat.
Pertanyaan : Setujukah anda dengan tindakan anarkis di Indonesia?
Jawab : Tidak, karena termasuk tindakan kriminal dan merugikan banyak pihak.
Opini wacana, Analisa wacana harus :
Obyektif, kalau tidak obyektif maka terjadi perbedaan justifikasi benar atau salah
Wacana berkembang tidak lepas dari nilai (value)
Wacana berkembang tidak lepas dari faktor kepentingan
Setiap wacana yang berkembang pasti mempengaruhi massa/tanggapan massa
Pertanyaan : Apakah Gusdur mengatakan Ahmadiyah boleh di Indonesia asal jangan menggunakan kata islam?
Jawab : yang menolak pasti islam kanan ’mentok’ , yang menganalisa secara kaffah, sedangkan Gusdur tidak menganalisa secara obyektif. Segala sesuatu tidak lepas dari faktor kepentingan, seperti kasus Ambalat dan kasus tragedi 12 Mei/ penurunan ORBA adalah tidak lepas dari kepentingan-kepentingan besar seperti IMF dan para pemodal, sedangkan mahasiswa hanya sebagai alat.  Alat untuk mempermudah untuk mencapai tujuan kepentingan, jadi mahasiswa seharusnya tidak hanya melihat sesuatu yang nampak saja.
Pada tahun 1980 Ahmadiyah dianggap sesat kenapa sampai sekarang masih ada Ahmadiyah? Tidak ada yang tahu hati seseorang, karena tidak mudah merubah keyakinan seseorang!
               
“JADI WACANA YANG BERKEMBANG TIDAK LEPAS DARI FAKTOR KEPENTINGAN”

MANAJEMEN KONFLIK


Definisi Konflik
  • Menurut Webster (1966) dalam Dean G. Pruitt dan Feffrey Z. Rubin, istilah “conflict” dalam bahasa aslinya berarti suatu “perkelahian, peperangan, atau perjuangan” yaitu berupa konfrontasi fisik antara beberapa pihak. Arti kata itu kemudian berkembang  menjadi “ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan”.
  • Dean G. Pruitt dan Feffrey Z. Rubin memaknai konflik sebagai persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest) atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan. Konflik dapat terjadi pada berbagai macam keadaan dan pada berbagai tingkat kompleksitas. Konflik merupakan sebuah duo yang dinamis.

Definisi Manajemen Konflik
  • Manajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara pelaku maupun pihak luar dalam suatu konflik.
  • Manajemen konflik termasuk pada suatu pendekatan yang berorientasi pada proses yang mengarahkan pada bentuk komunikasi (termasuk tingkah laku) dari pelaku maupun pihak luar dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan (interests) dan interpretasi.
  • Bagi pihak luar (di luar yang berkonflik) sebagai pihak ketiga, yang diperlukannya adalah informasi yang akurat tentang situasi konflik. Hal ini karena komunikasi efektif di antara pelaku dapat terjadi jika ada kepercayaan terhadap pihak ketiga.
  • Menurut Ross (1993) bahwa manajemen konflik merupakan langkah-langkah yang diambil para pelaku atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan perselisihan ke arah hasil tertentu yang mungkin atau tidak mungkin menghasilkan suatu akhir berupa penyelesaian konflik dan mungkin atau tidak mungkin menghasilkan ketenangan, hal positif, kreatif, bermufakat, atau agresif.
  • Manajemen konflik dapat melibatkan bantuan diri sendiri, kerjasama dalam memecahkan masalah (dengan atau tanpa bantuan pihak ketiga) atau pengambilan keputusan oleh pihak ketiga.
  • Suatu pendekatan yang berorientasi pada proses manajemen konflik menunjuk pada pola komunikasi (termasuk perilaku) para pelaku dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan dan penafsiran terhadap konflik.
Transformasi Konflik
  • Fisher dkk (2001:7) menggunakan istilah transformasi konflik secara lebih umum dalam menggambarkan situasi secara keseluruhan.
1.    Pencegahan Konflik, bertujuan untuk mencegah timbulnya konflik yang keras.
2.   Penyelesaian Konflik, bertujuan untuk mengakhiri perilaku kekerasan melalui persetujuan damai.
3.  Pengelolaan Konflik, bertujuan untuk membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku positif bagi pihak-pihak yang terlibat.
4.   Resolusi Konflik, menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru dan yang bisa tahan lama diantara kelompok-kelompok yang bermusuhan.
5.    Transformasi Konflik, mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan politik yang lebih luas dan berusaha mengubah kekuatan negatif dari peperangan menjadi kekuatan sosial dan politik yang positif.
  • Tahapan-tahapan diatas merupakan satu kesatuan yang harus dilakukan dalam mengelola konflik. Sehingga masing-masing tahap akan melibatkan tahap sebelumnya misalnya pengelolaan konflik akan mencakup pencegahan dan penyelesaian konflik.
Proses Manajemen Konflik
  • Sementara Minnery (1980:220) menyatakan bahwa manajemen konflik merupakan proses, sama halnya dengan perencanaan merupakan proses. Minnery (1980:220) juga berpendapat bahwa proses manajemen konflik perencanaan merupakan bagian yang rasional dan bersifat iteratif, artinya bahwa pendekatan model manajemen konflik perencanaan secara terus menerus mengalami penyempurnaan sampai mencapai model yang representatif dan ideal.
  • Sama halnya dengan proses manajemen konflik yang telah dijelaskan diatas, bahwa manajemen konflik perencanaan meliputi beberapa langkah yaitu: penerimaan terhadap keberadaan konflik (dihindari atau ditekan/didiamkan), klarifikasi karakteristik dan struktur konflik, evaluasi konflik (jika bermanfaat maka dilanjutkan dengan proses selanjutnya), menentukan aksi yang dipersyaratkan untuk mengelola konflik, serta menentukan peran perencana sebagai partisipan atau pihak ketiga dalam mengelola konflik.
  • Keseluruhan proses tersebut berlangsung dalam konteks perencanaan dan melibatkan perencana sebagai aktor yang mengelola konflik baik sebagai partisipan atau pihak ketiga.
Teori-teori Utama Mengenai Sebab-sebab Konflik
1.   Teori hubungan masyarakat. Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. Sasaran: meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antara kelompok yang mengalami konflik, serta mengusahakan toleransi dan agar masyarakat lebih bisa saling menerima keragaman yang ada didalamnya.
2.    Teori kebutuhan manusia. Menganggap bahwa konflik yang berakar disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia (fisik, mental dan sosial) yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Hal yang sering menjadi inti pembicaraan adalah keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi, dan otonomi. Sasaran: mengidentifikasi dan mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi, serta menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhan itu.
3.    Teori negosiasi prinsip. Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik. Sasaran: membantu pihak yang berkonflik untuk memisahkan perasaan pribadi dengan berbagai masalah dan isu dan memampukan mereka untuk melakukan negosiasi berdasarkan kepentingan mereka daripada posisi tertentu yang sudah tetap. Kemudian melancarkan proses kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak atau semua pihak.
4.    Teori identitas. Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan. Sasaran: melalui fasilitas lokakarya dan dialog antara pihak-pihak yang mengalami konflik, sehingga dapat mengidentifikasi ancaman dan ketakutan di antara pihak tersebut dan membangun empati dan rekonsiliasi di antara mereka.
5.      Teori kesalahpahaman antarbudaya. Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda. Sasaran: menambah pengetahuan kepada pihak yang berkonflik mengenai budaya pihak lain, mengurangi streotip negatif yang mereka miliki tentang pihak lain, meningkatkan keefektifan komunikasi antarbudaya.
6. Teori transformasi konflik. Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah sosial, budaya dan ekonomi.
Penyebab Konflik (1)
  • Konflik dapat terjadi hanya karena salah satu pihak memiliki aspirasi tinggi karena allternatif yang bersifat integrative dinilai sulit didapat. Ketika konflik semacam ini terjadi, maka ia akan semakin mendalam bila aspirasi sendiri atau aspirasi pihak lain bersifat kaku dan menetap.
  • Aspirasi dapat mengakibatkan konflik karena salah satu dari dua alasan, yaitu masing-masing pihak memiliki alasan untuk percaya bahwa mereka mampu mendapatkan sebuah objek bernilai untuk diri mereka sendiri atau mereka percaya bahwa berhak memeiliki objek tersebut. Pertimbangan pertama bersifat realistis, sedangkan pertimbangan kedua bersifat idealis.
Penyebab Konflik (2)
A.  Faktor Manusia
1.      Ditimbulkan oleh atasan, terutama karena gaya kepemimpinannya.
2.      Personil yang mempertahankan peraturan-peraturan secara kaku.
3.    Timbul karena ciri-ciri kepriba-dian individual, antara lain sikap egoistis, temperamental, sikap fanatik, dan sikap otoriter.
B.  Faktor Organisasi
1.      Persaingan dalam menggunakan sumberdaya. Apabila sumberdaya baik berupa uang, material, atau sarana lainnya terbatas atau dibatasi, maka dapat timbul persaingan dalam penggunaannya. Ini merupakan potensi terjadinya konflik antar unit/departemen dalam suatu organisasi.
2.      Perbedaan tujuan antar unit-unit organisasi. Tiap-tiap unit dalam organisasi mempunyai spesialisasi dalam fungsi, tugas, dan bidangnya. Perbedaan ini sering mengarah pada konflik minat antar unit tersebut. Misalnya, unit penjualan menginginkan harga yang relatif rendah dengan tujuan untuk lebih menarik konsumen, sementara unit produksi menginginkan harga yang tinggi dengan tujuan untuk memajukan perusahaan.
3.      Interdependensi tugas. Konflik terjadi karena adanya saling ketergantungan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Kelompok yang satu tidak dapat bekerja karena menunggu hasil kerja dari kelompok lainnya.
4.      Perbedaan nilai dan persepsi. Suatu kelompok tertentu mempunyai persepsi yang negatif, karena merasa mendapat perlakuan yang tidak “adil”. Para manajer yang relatif muda memiliki presepsi bahwa mereka mendapat tugas-tugas yang cukup berat, rutin dan rumit, sedangkan para manajer senior mendapat tugas yang ringan dan sederhana.
5.      Kekaburan yurisdiksional. Konflik terjadi karena batas-batas aturan tidak jelas, yaitu adanya tanggung jawab yang tumpang tindih.
6.      Masalah “status”. Konflik dapat terjadi karena suatu unit/departemen mencoba memperbaiki dan meningkatkan status, sedangkan unit/departemen yang lain menganggap sebagai sesuatu yang mengancam posisinya dalam status hirarki organisasi.
7.      Hambatan komunikasi. Hambatan komunikasi, baik dalam perencanaan, pengawasan, koordinasi bahkan kepemimpinan dapat menimbulkan konflik antar unit/ departemen.
Akibat Negatif Konflik
  • Menghambat komunikasi.
  • Mengganggu kohesi (keeratan hubungan).
  • Mengganggu kerjasama atau “team work”.
  • Mengganggu proses produksi, bahkan dapat menurunkan produksi.
  • Menumbuhkan ketidakpuasan terhadap pekerjaan.
  • Individu atau personil menga-lami tekanan (stress), mengganggu konsentrasi, menimbulkan kecemasan, mangkir, menarik diri, frustrasi, dan apatisme.
  • Apabila konflik mengarah pada kondisi destruktif, maka hal ini dapat berdampak pada penurunan efektivitas kerja dalam organisasi baik secara perorangan maupun kelompok, berupa penolakan, resistensi terhadap perubahan, apatis, acuh tak acuh, bahkan mungkin muncul luapan emosi destruktif, berupa demonstrasi.
Akibat Positif Konflik
  • Membuat organisasi tetap hidup dan harmonis.
  • Berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan.
  • Melakukan adaptasi, sehingga dapat terjadi perubahan dan per-baikan dalam sistem dan prosedur, mekanisme, program, bahkan tujuan organisasi.
  • Memunculkan keputusan-keputusan yang bersifat inovatif.
  • Memunculkan persepsi yang lebih kritis terhadap perbedaan pendapat.
  • Konflik bisa jadi merupakan sumber energi dan kreativitas yang positif apabila dikelola dengan baik. Misalnya, konflik dapat menggerakan suatu perubahan: Membantu setiap orang untuk saling memahami tentang perbedaan pekerjaan dan tanggung jawab mereka, Memberikan saluran baru untuk komunikasi, Menumbuhkan semangat baru pada staf, Memberikan kesempatan untuk menyalurkan emosi, Menghasilkan distribusi sumber tenaga yang lebih merata dalam organisasi.
Strategi Mengatasi Konflik
  • Munculnya konflik tidak selalu bermakna negatif, artinya jika konflik dapat dikelola dengan baik, maka konflik dapat memberi kontribusi positif terhadap kemajuan sebuah organisasi. Beberapa startegei mengatasi konflik antara lain adalah:
1.      Contending (bertanding) yaitu mencoba menerapkan solusi yang lebih disukai salah satu pihak atau pihak lain;
2.      Yielding (mengalah) yaitu menurunkan aspirasi sendiri dan bersedia menerima kurang dari apa yang sebetulnya diinginkan;
3.      Problem Solving (pemecahan masalah) yaitu mencari alternatif yang memuaskan aspirasi kedua belah pihak;
4.      With Drawing (menarik diri) yaitu memilih meninggalkan situasi konflik baik secara fisik maupun psikologis. With drawing melibatkan pengabaian terhadap kontroversi, dan
5.      Inaction (diam) tidak melakukan apapun, dimana masing-masing pihak saling menunggu langkah berikut dari pihak lain, entah sampai kapan.
Konflik Sebagai Suatu Oposisi
  • Konflik, dapat dikatakan sebagai suatu oposisi atau pertentangan pendapat antara orang-orang, kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi, yang disebabkan oleh adanya berbagai macam perkembangan dan perubahan dalam bidang manajemen serta menimbulkan perbedaan pendapat, keyakinan, dan ide.
  • Dalam pada itu, ketika individu bekerja sama satu sama lain dalam rangka mewujudkan tujuannya, maka wajar seandainya dalam waktu yang cukup lama terjadi perbedana-perbedaan pendapat di antara mereka. Ibarat piring, banyak yang pecah atau retak, hanya karena bersentuhan dengan piring lainnya.
Tahap-tahap Berlangsungnya Konflik
§  Menurut Mulyasa pada umumnya konflik berlangsung dalam lima tahap, yaitu tahap potensial, konflk terasakan, pertenangan, konflik terbuka, dan akibat konflik.
1.      Tahap potensial, yaitu munculnya perbedaan di antara individu, organisasi, dan lingkunan merupakan potensi terjadinya konflik;
2.      Konflik terasakan, yaitu kondisi ketika perbedaan yang muncul dirasakan oleh individu, dan mereka mulai memikirkannya;
3.      Pertentangan, yaitu ketika konflik berkembang menjadi perbedaan pendapat di anatara individu atau kelompok yang saling bertentangan;
4.      Konflik terbuka, yaitu tahapan ketika pertentangan berkembang menjadi permusuhan secara terbuka;
5.      Akibat konflik, yaitu tahapan ketika konflik menimbulkan dampak terhadap kehidupan dan kinerja organisasi. Jika konflik terkelola dengan baik, maka akan menimbulkan keuntungan, seperti tukar pikiran, ide dan menimbulkan kreativitas. Tetapi jika tidak dikelola dengan baik, dan melampaui batas, maka akan menimbulkan kerugian seperti saling permusuhan.
Latar Belakang Konflik
  • Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya.
  • Konflik adalah sesuatu yang wajar terjadi di masyarakat, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Konflik bertentangan dengan integrasi.
  • Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.
Faktor-faktor Penyebab Konflik
  • Adapun faktor-faktor  penyebab konflik antara lain:
1.      Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan;
2.      Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda pula. seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya;
3.      Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok, diantaranya menyangkut bidang ekonomi, politik, dan sosial; dan
4.      Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Tingkatan Konflik
1.      Konflik intrapersonal,  yaitu konflik internal yang terjadi dalam diri seseorang. Konflik intrapersonal akan terjadi ketika individu  harus memilih dua atau lebih tujuan yang saling bertentangan, dan bimbang mana yang harus dipilih untuk dilakukan.
2.      Konflik interpersonal, yaitu konflik yang terjadi antar individu. Konflik yang terjadi ketika adanya perbedaan tentang isu tertentu, tindakan dan tujuan dimana hasil bersama sangat menentuan.
3.      Konflik intragrup, yaitu konflik antara angota dalam satu kelompok. Setiap kelompok dapat mengalami konflik substantif atau efektif.  Konflik substantif terjadi karena adanya latar belakang keahlian yang berbeda, ketika anggota dari suatu komite menghasilkan kesimpulan yang berbeda atas data yang sama. Sedangkan konflik efektif terjadi karena tangapan emosional terhadap suatu situasi tertentu.
4.      Konflik intergrup, yaitu konflik yang terjadi antar kelompok. Konflik intergrup terjadi karena adanya saling ketergantungan, perbedaan persepsi, perbedaan tujuan, da meningkatkatnya tuntutan akan keahlian.
5.      Konflik intraorganisasi, yaitu konflik yang terjadi antar bagian dalam suatu organisasi.
6.      Konflik interorganisasi,  yang terjadi antar organisasi. Konflik inter organisasi  terjadi karena mereka memiliki saling ketergantungan satu sama lain, konflik terjadi bergantung pada tindakan suatu organisasi yang menyebabkan dampak negatif terhadap organisasi lain. Misalnya konflik yang terjadi antara lembaga pendidikan dengan salah satu organisasi masyarakat.
Konflik Intraorganisasi
§  Konflik intraorganisasi meliputi empat sub jenis :
1.      Konflik vertikal, yang terjadi antara pimpinan dan bawahan yang tidak sependapat tentang cara terbaik untuk menyelesaikan sesuatu. Misalnya konflik antara Rektor dengan tenaga kependidikan;
2.      Konflik horizontal, yang terjadi antar karyawan atau departemen yang memiliki hierarkhi yang sama dalam organisasi Misalnya antara tenaga kependidikan;
3.      Konflik lini-staf, yang sering terjadi karena adanya perbedaan persepsi tentang keterlibatan staf dalam proses pengambilan keputusan oleh manajer lini. Misalnya konflik antara Rektor dengan tenaga administrasi;
4.      Konflik peran, yang terjadi karena seserang memiliki lebih dari satu peran. Misalnya Rektor menjabat sebagai ketua dewan pendidikan;
Metode Penyelesaian Konflik
  • Dominasi atau Supresi
  • Kompromis
  • Pemecahan Problem Integrative
Penyelesaian Konflik: Dominasi atau Supresi
  • Metode-metode dominasi dan supresi biasanya memilki  dua macam persamaan, yaitu :
1.      Mereka menekan konflik, dan bahkan menyelesaikannya dengan jalan memaksakan konflik tersebut menghilang “di bawah tanah”;
2.      Mereka menimbulkan suatu situasi manang-kalah, di mana pihak yang kalah terpaksa mengalah kaena otoritas lebih tinggi, atau pihak yang lebih besar kekuasaanya, dan mereka biasanya menjadi tidak puas, dan sikap bermusuhan muncul.
Tindakan Supresi dan Dominasi
  • Memaksa (Forcing). Apabila orang yang berkuasa pada pokoknya menyatakan “Sudah, jangan banyak bicara, saya berkuasa di sini, dan Saudara harus melaksanakan perintah saya”, maka semua argumen habis sudah. Supresi otokratis demikian memang dapat menyebabkan timbulnya ekspresi-ekspresi konflik yang tidak langsung, tetapi destruktif seperti misalnya ketaatan dengan sikap permusuhan (Malicious  obedience) Gejala tersebut merupakan salah satu di antara banyak macam bentuk konflik, yang dapat menyebar, apabila supresi (peneanan) konflik terus-menerusa diterapkan.
  • Membujuk (Smoothing). Dalam kasus membujuk, yang merupakan sebuah cara  untuk menekan (mensupresi) konflik dengan cara yang lebih diplomatic, sang manager mencoba mengurangi luas dan pentingnya ketidaksetujuan yang ada, dan ia mencoba secara sepihak membujuk phak lain, untuk mengkuti keinginannya. Apabila sang manager memilki lebih banyak informasi dibandingkan dengan pihak lain tersebut, dan sarannya cukup masuk akal, maka metode tersebut dapat bersifat efektif. Tetapi andaikata terdapat perasaan bahwa sang menejer menguntungkan pihak tertentu, atau tidak memahami persoalan yang berlaku, maka pihak lain yang kalah akan menentangnya.
  • Menghindari (Avoidence). Apabila kelompok-kelompok yang sedang bertengkar dating pada seorang manajer untuk meminta keputusannya, tetapi ternyata bahwa sang manajer menolak untuk turut campur dalam persoalan tersebut, maka setiap pihak akan mengalami perasaan tidak puas. Memang perlu diakui bahwa sikap pura-pura bahwa tidak ada konflik, merupakan seuah bentuk tindakan menghindari. Bentuk lain adalah penolakan (refusal) untuk menghadapi konflik, dengan jalan mengulur-ulur waktu, dan berulangkali menangguhkan tindakan, “sampai diperoleh lebih banyak informasi”
  • Keinginan Mayoritas (Majority Rule). Upaya untuk menyelesaikan konflik kelompok melalui pemungutan suara, dimana suara terbanyak menang (majority vote)  dapat merupakan sebuah cara efektif, apabla para angota menganggap prosedur yang bersangkutan sebagai prosedur yang “fair” Tetapi, apabila salah satu blok yang memberi suara terus-menerus mencapai kemenangan, maka pihak yang kalah akan merasa diri lemah dan mereka akan mengalami frustrasi.
Penyelesaian Konflik: Kompromis
  • Melalui tindakan kompromi, para manajer mencoba menyelesaikan konflik dengan jalan menghimbau pihak yang berkonflik untuk mengorbankan sasaran-sasaran tertentu, guna mencapai sasaran-sasaran lain.
  • Keputusan-keputusan yang dicapai melalui jalan kompromi, agaknya tidak akan menyebabkan pihak-pihak yangberkonflik untuk merasa frustasi atau mengambil sikap bermusuhan.
  • Tetapi, dipandang dari sudut pandanga organisatoris, kompromis merupakan cara penyelesaian konflik yang lemah, karena biasanya tidak menyebabkan timbulnya suatu pemecahan, yang paling baik membantu organisasi yang bersangkutan mencapai tujuan-tujuannya.
  • Justru, pemecahan yang dicapai adalah bahwa ke dua belah pihak yang berkonflik dapat “hidup” dengannya.
Bentuk-bentuk Kompromis
  • Separasi (Separation), pihak yang berkonflik dipisahkan sampai mereka mencapai suatu pemecahan;
  • Aritrasi (Arbitration), pihak-pihak yang berkonflik tunduk terhadap keputusan pihak keiga (yang biasanya tidak lain dari pihak manejer mereka sendiri);
  • Mengambil keputusan berdasarkan factor kebetulan (Settling by chance), keputusan tergantung misalnya dari uang logam yang dilempar ke atas, mentaati peratuan-peraturan yang berlaku (resort to rules) , dimana para pihak yang bersaingan setuju untuk menyelesaikan konflik dengan berpedoman pada peraturan-peraturan yang berlaku;
  • Menyogok (Bribing), Salah satu pihak menerima imbalan tertentu untuk mengakhiri konflik terjadi.
Penyelesaian Konflik: Pemecahan Problem Integrative
  • Dengan metode ini konflik antar kelompok dialihkan menjadi sebuah situasi pemecahan masalah bersama, yang dapat dipecahkan dengan bantuan teknik-teknik pemecahan masalah.
  • Pihak-pihak yag berkonflik, bersama-sama mencoba memecahkan problem yang timbul antara mereka.
  • Justu mereka tidak menekan konflik ataupun mencoba mencari suatu kompromis, tetapi mereka secara terbuka bersama-sama mencoba mencari sebuah pemecahan yang dapat diterima oleh semua pihak.
Tipe Penyelesaian Konflik Secara Integrative
  • Ada tiga macam tipe metode penyelesaian konflik secara integrative yaitu metode:
1.      Consensus (Concencus);
2.      Konfrontasi (Confrontation); dan
3.      Penggunaan tujuan-tujuan superordinat (Superordinate goals)
6 Tipe Pengelolaan Konflik
  • Manajemen harus mampu meredam persaingan yang sifatnya berlebihan (yang melahirkan konflik yang bersifat disfungsional) yang justru merusak  spirit sinergisme organisasi tanpa melupakan continous re-empowerment. Ada 6 tipe pengelolaan konflik yang dapat dipilih dalam menangani konflik yang muncul (Dawn M. Baskerville, 1993:65) yaitu :
1.      Avoiding; gaya seseorang atau organisasi yang cenderung untuk menghindari terjadinya konflik. Hal-hal yang sensitif dan potensial menimbulkan konflik sedapat mungkin dihindari sehingga tidak menimbulkan konflik terbuka.
2.      Accomodating; gaya ini mengumpulkan dan mengakomodasikan pendapat-pendapat dan kepentingan pihak-pihak yang terlibat konflik, selanjutnya dicari jalan keluarnya dengan tetap mengutamakan kepentingan pihak lain atas dasar masukan-masukan yang diperoleh.
3.      Compromising; merupakan gaya menyelesaikan konflik dengan cara melakukan negosiasi terhadap pihak-pihak yang berkonflik, sehingga kemudian menghasilkan solusi (jalan tengah) atas konflik yang sama-sama memuaskan (lose-lose solution).
4.      Competing; artinya pihak-pihak yang berkonflik saling bersaing untuk memenangkan konflik, dan pada akhirnya harus ada pihak yang dikorbankan (dikalahkan) kepentingannya demi tercapainya kepentingan pihak lain yang lebih kuat atau yang lebih berkuasa (win-lose solution).
5.      Collaborating; dengan cara ini pihak-pihak yang saling bertentangan akan sama-sama memperoleh hasil yang memuaskan, karena mereka justru bekerja sama secara sinergis dalam menyelesaikan persoalan, dengan tetap menghargai kepentingan pihak lain. Singkatnya, kepentingan kedua pihak tercapai (menghasilkan win-win solution).
6.      Conglomeration (mixtured type); cara ini menggunakan kelima style bersama-sama dalam penyelesaian konflik.
Gaya dalam Penyelesaian Konflik
  • Perlu kita ingat bahwa dalam memilih style yang akan dipakai oleh seseorang atau organisasi di dalam pengelolaan konflik akan sangat bergantung dan dipengaruhi oleh persepsi, kepribadian/karakter (personality), motivasi, kemampuan (abilities) atau pun kelompok acuan yang dianut oleh seseorang atau organisasi.        
  • Dapat dikatakan bahwa pilihan seseorang atas gaya mengelola konflik merupakan fungsi dari kondisi khusus tertentu dan orientasi dasar seseorang atau perilakunya dalam menghadapai konflik tersebut yang juga berkaitan dengan nilai (value) seseorang tersebut.
  • Pada level subkultur (subculture), shared values dapat dipergunakan untuk memprediksi pilihan seseorang pada gaya dalam menyelesaikan konflik yang dihadapinya. Subkultur seseorang diharapkan dapat mempengaruhi perilakunya sehingga akan terbentuk perilaku yang sama dengan budayanya (M. Kamil Kozan, 2002:93-96).
Taktik Penyelesaian Konflik
  • Rujuk: Merupakan suatu usaha pendekatan dan hasrat untuk kerja-sama dan menjalani hubungan yang lebih baik, demi kepentingan bersama.
  • Persuasi: Usaha mengubah po-sisi pihak lain, dengan menunjukkan kerugian yang mungkin timbul, dengan bukti faktual serta dengan menunjukkan bahwa usul kita menguntungkan dan konsisten dengan norma dan standar keadilan yang berlaku.
  • Tawar-menawar: Suatu penyelesaian yang dapat diterima kedua pihak, dengan saling mempertukarkan konsesi yang dapat diterima. Dalam cara ini dapat digunakan komunikasi tidak langsung, tanpa mengemukakan janji secara eksplisit.
  • Pemecahan masalah terpadu: Usaha menyelesaikan masalah dengan memadukan kebutuhan kedua pihak. Proses pertukaran informasi, fakta, perasaan, dan kebutuhan berlangsung secara terbuka dan jujur. Menimbulkan rasa saling percaya dengan merumuskan alternatif pemecahan secara bersama dengan keuntungan yang berimbang bagi kedua pihak.
  • Penarikan diri: Suatu penyelesaian masalah, yaitu salah satu atau kedua pihak menarik diri dari hubungan. Cara ini efektif apabila dalam tugas kedua pihak tidak perlu berinteraksi dan tidak efektif apabila tugas saling bergantung satu sama lain.
  • Pemaksaan dan penekanan: Cara ini memaksa dan menekan pihak lain agar menyerah; akan lebih efektif bila salah satu pihak mempunyai wewenang formal atas pihak lain. Apabila tidak terdapat perbedaan wewenang, dapat dipergunakan ancaman atau bentuk-bentuk intimidasi lainnya. Cara ini sering kurang efektif karena salah satu pihak hams mengalah dan menyerah secara terpaksa.
  • Intervensi (campur tangan) pihak ketiga: Apabila fihak yang bersengketa tidak bersedia berunding atau usaha kedua pihak menemui jalan buntu, maka pihak ketiga dapat dilibatkan dalam penyelesaian konflik.
Penyelesaian Konflik dengan Pihak Ketiga
  • Arbitrase (arbitration): Pihak ketiga mendengarkan keluhan kedua pihak dan berfungsi sebagai “hakim” yang mencari pemecahan mengikat. Cara ini mungkin tidak menguntungkan kedua pihak secara sama, tetapi dianggap lebih baik daripada terjadi muncul perilaku saling agresi atau tindakan destruktif.
  • Penengahan (mediation): Menggunakan mediator yang diundang untuk menengahi sengketa. Mediator dapat membantu mengumpulkan fakta, menjalin komunikasi yang terputus, menjernihkan dan memperjelas masalah serta mela-pangkan jalan untuk pemecahan masalah secara terpadu. Efektivitas penengahan tergantung juga pada bakat dan ciri perilaku mediator.
  • Konsultasi: Tujuannya untuk memperbaiki hubungan antar kedua pihak serta mengembangkan kemampuan mereka sendiri untuk menyelesaikan konflik. Konsultan tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan dan tidak berusaha untuk menengahi. la menggunakan berbagai teknik untuk meningkatkan persepsi dan kesadaran bahwa tingkah laku kedua pihak terganggu dan tidak berfungsi, sehingga menghambat proses penyelesaian masalah yang menjadi pokok sengketa.
Faktor-faktor yang mempengauhi pendekatan kita pada konflik (KAPOW)
K= KNOWLEDGE (Pengetahuan)
  • Sejauh mana anda mengetahui isu pihak lain?
  • Sejauh mana pihak lain mengetahui isu anda?
  • Sejauh mana anda mengetahui masalahnya?
A= AUTHORITY (Wewenang)
  • Apakah anda punya wewenang untuk mengambil keputusan?
  • Apakah pihak lain punya wewenang untuk mengambil keputusan?
P= POWER (Kekuatan)
  • Sejauh mana anda dapat memberi pengaruh terhadap situasi?
  • Seberapa besar kekuatan yang dimiliki pihak lain atas diri anda?
O= OTHER (Relasi)
  • Seberapa tinggi pentingnya relasi bagi anda?
  • Seberapa tinggi pentingnya relasi bagi pihak lain?
W= WINNING (Kemenangan)
  • Seberapa pentingnya unsur kemenangan?
  • Apakah anda harus menang?
  • Apakah pihak lain harus menang?
  • Apakah kompromi dapat diterima?
  • Apakah kekalahan dapat diterima?
Meangani Konflik dengan Cara ACES
  • A= Asses the Situation (Mengenali Situasi)
  • C= Clarify the Issues (Memperjelas Permasalahan)
  • E= Evaluate Alternative Approaches (Menilai Pendekatan-pendekatan Alternatif)
  • S= Solve the Problem (Mengurai Permasalahan)
Petunjuk Pendekatan pada Situasi Konflik
  • Diawali melalui penilaian diri sendiri
  • Analisa isu-isu seputar konflik
  • Tinjau kembali dan sesuaikan dengan hasil eksplorasi diri sendiri.
  • Atur dan rencanakan pertemuan antara individu-individu yang terlibat konflik
  • Memantau sudut pandang dari semua individu yang terlibat
  • Mengembangkan dan menguraikan solusi
  • Memilih solusi dan melakukan tindakan
  • Merencanakan pelaksanaannya
Hal-hal yang Perlu Diperhatikan dalam Mengatasi Konflik
  • Ciptakan sistem dan pelaksanaan komunikasi yang efektif.
  • Cegahlah konflik yang destruktif sebelum terjadi.
  • Tetapkan peraturan dan prosedur yang baku terutama yang menyangkut hak karyawan.
  • Atasan mempunyai peranan penting dalam menyelesaikan konflik yang muncul.
  • Ciptakanlah iklim dan suasana kerja yang harmonis.
  • Bentuklah team work dan kerja-sama yang baik antar kelompok/ unit kerja.
  • Semua pihak hendaknya sadar bahwa semua unit/eselon merupakan mata rantai organisasi yang saling mendukung, jangan ada yang merasa paling hebat.
  • Bina dan kembangkan rasa solidaritas, toleransi, dan saling pengertian antar unit/departemen/ eselon.[]
Bulaksumur, 22 Februari 2010
Nur Sayyid Santoso Kristeva, S.Pd.I, M.A.
Referensi
Bass, B.M. and Avolio, B.J., 1994, Improving Organizational Effectiveness through Transformational Leadership, Sage, Thousand Oaks.
Bass, B.M., 1960, Leadership, Psychology and Organizational Behavior, Harper and Brothers, New York.
Bennis, W.G. and Nanus, B., 1985, Leaders: The Strategies for Taking Charge, Harper and Row, New York.
Bryman, A., 1992, Charisma and Leadership in Organizations, Sage, London.
Burns, J.M., 1978, Leadership, Harper and Row, New York.
Baskerville, Dawn M., May 1993. How Do You Manage Conflict?. Black Enterprise. Evert Van De Vliert (University of Groningen) and Boris Kabanoff (University of New South Wales).
Brown, Waren B. dan Denis J. Moberg, Organization Theory and Mangement: A Macro Approach, (New York : John Wiley & Sons,1980)
Carrol, Stephen J., & Henry L. Tosy, Organizational Behavior, John Willey & Son, New York, 1977
Claassen, Ron, (1999). Center for Peacemaking and Conflict Studies, Adapted from Shawchuck. Ada dalam Duane Ruth-Heffelbowr, Conflict & Peacemaking Across Cultures Training for Trainers, Fresno Pacific University, 1999.
C. Handy, Understanding Organizations, (London : Penguin, 1985), dikutip langsung oleh Eugene McKenna dan Nic Beec, The Essence of : Manajemen Sumber Daya Manusia,Trj. Toto Budi Santoso, (Yogjakarta : Penerbit Andi, 2002)
Davis, Richard, 1998. Exploding the Myths Of High Performance Teams. Buckingham. UK: Vanguard Consulting Ltd.
Desmond graves, Corporate Culture : Diagnosis and Change Auditing and Changing the Culture of Organization, (London : Frances Pinter Publishing, 1986)
Etzioni, Amitai, Complex Organization : A Sociological Reader, (New York: Rine Hart & Winston, 1961)
Fiedler, F.E., 1967, A Theory of Leadership Effectiveness, McGraw-Hill, New York.
French, J. and Raven, B., 1967, 'The basis of social power', in D. Cartwright and A. Zander (eds.), Group
Kozan, M. Kamil, 2002. Subcultures and Conflict Management Style. Management International Review.
March 1990. Toward Theory-Based Measures Of Conflict Management. Academy of Management Journal. 
Moedjiono, Imam. (2002). Kepemimpinan dan Keorganisasian, Yogyakarta: UII Press.
Noe, Hollenbeck, Gerhart, Wright. 2000. Human Resource Management:Gaining a Competitive Advantage. International Edition. Third Edition. McGraw-Hill Companies. Inc.
Purwanto, M. Ngalim, Administrasi dan Supervisi Pendidikan, Bandung, PT. Remaja Rosda Karya, Cet. VIII.,1998)
Ridwan, Teori Kepemimpinan, Makalah disampaikan pada Pelatihan Kepemimpinan Mahasiswa (PKM) BEM STAIN Purwokerto, 23-24 November 2007.
Robbins, Stephen P., Organizational Theory: Structure Design and Aplication (New Jersey : Prentice Hall, Inc., 1990)
Robbins, Stephen dan Mary coulter. 2007. Management, 8th Edition. NJ: Prentice Hall.
Siagian, Sondang P., Filsafat Administrasi, Jakarta, Gunung Agung, Cet. II., 1971.
Sutarto, Dasar-dasar Kepemimpinan Administrasi, Gadjah Mada University Press, 1986.
Stoner, James A.F., Management, Secont Editions, Prentice-Hall International, Inc., 1982.
Swansburg, R.C. ( 1996 ) Management and Leadership  for Nurse Managers  ( 2 th ed) Jones and Bartlett Publishers Inc, London England.
Schermerhom, Jr, John R., James G. Hunt and Richard N. Osborn, Managing Organizational Behavior, John Wiley & Sons,lnc., New York, 1985.
Soekanto, Soerjono, Sosiologi suatu Pengantar, (Jakarta : Grafindo, 2003)
Sathe, Vijay, Culture and Related corporate Realities, (Homewood : Richard D. Irwin, Inc., 1985)
Schein, Edgar H., Organizational Culture and Leadershif, (San Fransisco : Josseybass Publ, 1992).
Silalahi, Bennet, Corporate Culture and Performance Appraisal, (Jakarta: Republika, 27 Juli 1994
Sallis, Edward, (1993). Total Quality Management in Education, Philadelphia, London
Thierauf, Robert J., Robert C. Klekamp, Daniel W. Gedding, Management Principles and Practices: A Contigency and Questionnare Approach, John Willey & Son, New York, 1997
Tomey, Ann  Marriner,(1996). Guide To Nursing Management and Leadership.  Mosby–Year  Book, Inc St Louis  USA.
Tosi, Henry L. John R. Rizzo,and Stephen J. Carrol. Managing Organizational Behavoir, Ballinger Publishing Company, Cambridge, Massachusetts, 1986.
Thoha, Miftah. (2003). Kepemimpinan Dalam Manajemen, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Tjiptono, Pandi & Anastasia Diana. (2001). Total Quality Management,Yogyakarta: Andi.
Wursanto. (2002). Dasar-dasar Ilmu Organisasi, Yogyakarta: Andi.
Yukl, Garry, Kepemimpinan dalam Organisasi, terj. Jusuf udaya, Prehalindo, Jakarta, 1994.[]

sponsor

"//pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js">