A. Pendahuluan
Manusia
secara bahasa disebut juga insan yang dalam bahasa arabnya, yang berasal dari
kata nasiya yang berarti lupa dan jika dilihat dari kata dasar al-uns yang
berarti jinak. Kata insan dipakai untuk menyebut manusia, karena manusia
memiliki sifat lupa dan jinak artinya manusia selalu menyesuaikan diri dengan
keadaan yang baru disekitarnya. Manusia cara keberadaannya yang sekaligus
membedakannya secara nyata dengan mahluk yang lain. Seperti dalam kenyataan
mahluk yang berjalan diatas dua kaki, kemampuan berfikir dan berfikir tersebut
yang menentukan manusia hakekat manusia. Manusia juga memiliki karya yang
dihasilkan sehingga berbeda dengan mahluk yang lain. Manusia dalam memiliki
karya dapat dilihat dalam seting sejarah dan seting psikologis situasi
emosional dan intelektual yang melatarbelakangi karyanya. Dari karya yang
dibuat manusia tersebut menjadikan ia sebagai mahluk yang menciptakan sejarah.
Manusia juga dapat dilihat dari sisi dalam pendekatan teologis, dalam pandangan
ini melengkapi dari pandangan yang sesudahnya dengan melengkapi sisi
trasendensi dikarenakan pemahaman lebih bersifat fundamental. Pengetahuan pencipta
tentang ciptaannya jauh lebih lengkap dari pada pengetahuan ciptaan tentang
dirinya. (Musa Asy’ari, Filsafat Islam, 1999)
Berbicara
tentang manusia maka yang tergambar dalam fikiran adalah berbagai macam
perfektif, ada yang mengatakan masnusia adalah hewan rasional (animal rasional)
dan pendapat ini dinyakini oleh para filosof. Sedangkan yang lain menilai
manusia sebagai animal simbolik adalah pernyatakan tersebut dikarenakan manusia
mengkomunikasikan bahasa melalui simbol-simbol dan manusia menafsirkan
simbol-simbol tersebut. Ada yang lain menilai tentang manusia adalah sebagai
homo feber dimana manusia adalah hewan yang melakukan pekerjaan dan dapat gila
terhadap kerja. Manusia memang sebagai mahluk yang aneh dikarenakan disatu
pihak ia merupakan “mahluk alami”, seperti binatang ia memerlukan alam untuk
hidup. Dipihak lain ia berhadapan dengan alam sebagai sesuatu yang asing ia
harus menyesuaikan alam sesuai dengan kebutuh-kebutuhannya. Manusia dapat
disebut sebagai homo sapiens, manusia arif memiliki akal budi dan mengungguli
mahluk yang lain. Manusai juga dikatakan sebagai homo faber hal tersebut
dikarenakan manusia tukang yang menggunakan alat-alat dan menciptakannya. Salah
satu bagian yang lain manusia juga disebut sebagai homo ludens (mahluk yang
senang bermain). Manusia dalam bermaian memiliki ciri khasnya dalam suatu
kebudayaan bersifat fun. Fun disini merupakan kombinasi lucu dan menyenangkan.
Permaianan dalam sejarahnya juga digunakan untu memikat dewa-dewa dan bahkan
ada suatu kebudayaan yang menganggap permainan sebagai ritus suci. (K. Bertens,
Panorama Filsafat Modern, 2005)
Marx
menunjukan perbedaan antara manusia dengan binatang tentang kebutuhannya,
binatang langsung menyatu dengan kegiatan hidupnya. Sedangkan manusia membuat
kerja hidupnya menjadi objek kehendak dan kesadarannya. Binatang berproduksi
hanya apa yang ia butuhkan secara langsung bagi dirinya danketurunnya,
sedangkan manusia berproduksi secara universal bebas dari kebutuhan fisik, ia
baru produksi dari yang sesungguhnya dalam kebebasan dari kebutuhannya. Manusia
berhadapan bebas dari produknya dan binatang berproduksi menurut ukuran dan
kebutuhan jenis produksinya, manusia berproduksi mnurut berbagai jenis dan
ukuran dengan objek yang inheren, dikarenakan manusia berproduksi menurut
hukum-hukum keindahan. Manusia dalam bekerja secara bebas dan universal, bebas
I dapat bekerja meskipun tidak merasakan kebutuhan langsung, universal
dikarenakan ia dapat memakai beberapa cara untuk tujuan yang sama. Dipihak yang
lain ia dapat menghadapi alam tidak hanya dalam kerangka salah satu kebutuhan.
Oleh sebab itu menurut Marx manusia hnya terbuka pada nilai-nilai estetik dan
hakekat perbedaan manusia dengan binatang adalah menunjukan hakekat bebas dan
universal.(Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx, 1999).
Antropologi
adalah merupakan salah satu dari cabang filsafat yang mempersoalkan tentang
hakekat manusia dan sepanjang sejarahnya manusia selalu mempertanyakan tentang
dirinya, apakah ia sedang sendirian, yang kemudian menjadi perenungan tentang
kegelisahan dirinya, ataukah ia sedang dalam dinamika masyarakat dengan
mempertanyakan tentang makna hidupnya ditengan dinamika perubahan yang
kompleks, dan apakah makna keberadaannya ditengah kompleksitas perubahan itu?
Pertanyaan tentang hakekat manusia merupkan pertanyaan kuno seumur keberadaan
manusia dimuka bumi. Dalam jawaban tentang manusia tidak pernah akan selesai
dan dianggap tidak pernah sampai final dikarenakan realitas dalam keling
manusia selalu baru, meskipun dalam subtansinya tidak berubah.(Musa Asy’ari, Filsafat
Islam, 1999)
Manusia
menurut Paulo Freire mnusia merupakan satu-satunya mahluk yang memiliki
hubungan dengan dunia. Manusia berbeda dari hewan yang tidak memiliki sejarah,
dan hidup dalam masa kini yang kekal, yang mempunyai kontak tidak kritis dengan
dunia, yang hanya berada dalam dunia. Manusi dibedakan dari hewan dikarenakan
kemampuannya untuk melakukan refleksi (termasuk operasi-operasi
intensionalitas, keterarahan, temporaritas dan trasendensi) yang menjadikan mahluk
berelasi dikarenakan kapasitasnya untuk meyampaikan hubungan dengan dunia.
Tindakan dan kesadaran manusia bersifat historis manusia membuat hubungan
dengan dunianya bersifat epokal, yang menunjukan disini berhubungan disana,
sekarang berhubungan masa lalu dan berhubungan dengan masa depan. manusia
menciptakan sejarah juga sebaliknya manusia diciptakan oleh sejarah. (Denis
Collin, Paulo Freire Kehidupan, Karya dan Pemikirannya, 2002).
Hakekat
manusia selalu berkaitan dengan unsur pokok yang membentuknya, seperti dalam
pandangan monoteisme, yang menccari unsur pokok yang menentujkan yang bersifat
tunggal, yakni materi dalam pandangan materialisme, atau unsur rohani dalam
pandangan spritualisme, atau dualisme yang memiliki pandangan yang menetapkan
adanya dua unsur pokok sekaligus yang keduanya tidak saling menafikan nyaitu
materi dan rohani, nyakni pandangan pluralisme yang menetapkan pandangan pada
adanya berbagai unsur pokok yang pada dasarnya mencerminkan unsur yang ada
dalam marco kosmos atau pandangan mono dualis yang menetapkan manusia pada
kesatuannya dua unsur, ataukah mono pluralism yang meletakkan hakekat pada
kesatuannya semua unsur yang membentuknya. Manusia secara individu tidak pernah
menciptakan dirinya , kan tetapi bukan berarti bahwea ia tidak dapat menentukan
jalan hidup setelah kelahirannya dan eksistensinya dalam kehidupan dunia ini
mencapai kedewasaan dan semua kenyataan itu, akan memberikan andil atas jawaban
mengenai pertanyaan hakekat, kedudukan, dan perannya dalam kehidupan yang ia hadapi.
(Musa Asy’ari, Filsafat Islam, 1999)
B. Hakekat manusia
Masalah
manusia adalah terpenting dari semua masalah. Peradaban hari ini didasarkan
atas humanisme, martabat manusia serta pemujaan terhadap manusia. Ada pendapat
bahwa agama telah menghancurkan kepribadian manusia serta telah memaksa
mengorbankan dirinya demi tuhan. Agama telah memamaksa ketika berhadapan dengan
kehendak Tuhan maka manusia tidak berkuasa. (Ali Syariati, Paradigma Kaum
Tertindas, 2001). Bagi Iqbal ego adalah bersifat bebas unifed dan immoratal
dengan dapat diketahui secara pasti tidak sekedar pengandaian logis. Pendapat
tersebut adalah membantah tesis yang dikemukanakn oleh Kant yang mengatakan
bahwa diri bebas dan immortal tidak ditemukan dalam pengalaman konkit namun
secara logis harus dapat dijatikan postulas bagi kepentingan moral. Hal ini
dikarenakan moral manusia tidak masuk akal bila kehidupan manusia yang tidak
bebas dan tidak kelanjutan kehidupannya setelah mati. Iqbal memaparkan
pemikiran ego terbagi menjadi tiga macam pantheisme, empirisme dan
rasionalisme. Pantheisme memandang ego manusia sebagai non eksistensi dimana
eksistensi sebenarnya adalah ego absolut. Tetapi bagi Iqabal bahwa ego manusia
adalah nyata, hal tersebut dikarenakan manusia berfikir dan manusia bertindak
membuktikan bahwa aku ada. Empirisme memandang ego sebagai poros
pengalaman-pengalaman yang silih berganti dan sekedar penanaman yang real
adalah pengalaman. Benak manusia dalam pandangan ini adalah bagaikan pangging
teater bagai pengalaman yang silih berganti. Iqbal menolak empirisme orang yang
tidak dapat menyangkal tentang yang menyatukan pengalaman. Iqbal juga menolak
rasionalisme ego yang diperoleh memlalui penalaran dubium methodicum (semuanya
bisa diragukan kecuali aku sedang ragu-ragu karena meragukan berarti
mempertegas keberadaannya). Ego yang bebas, terpusat juga dapat diketahui
dengan menggunakan intuisi. Menurut Iqbal aktivitas ego pada dasarnya adalah
berupa aktivitas kehendak. Baginya hidup adalah kehendak kreatif yang bertujuan
yang bergearak pada satu arah. Kehendak itu harus memiliki tujuan agar dapat
makan kehendak tidak sirna. Tujuan tersebut tidak ditetapakan oleh hukum-hukum
sejarah dan takdir dikarenakan manusia kehendak bebas dan berkreatif. (Donny
Grahal Adian, Matinya Metafisika Barat, 2001)
Hakekat
manusia harus dilihat pada tahapannya nafs, keakuan, diri, ego dimana pada
tahap ini semua unsur membentuk keatuan diri yang aktual, kekinian dan dinamik,
dan aktualisasi kekinian yang dinamik yang bearada dalam perbuatan dan amalnya.
Secara subtansial dan moral manusia lebih jelek dari pada iblis, tetapi secara
konseptual manusia lebih baik karena manusia memiliki kemampuan kreatif.
Tahapan nafs hakekat manusia ditentukan oleh amal, karya dan perbuatannya,
sedangkan pada kotauhid hakekat manusai dan fungsinya manusia sebagai ‘adb dan
khalifah dan kekasatuan aktualisasi sebagai kesatuan jasad dan ruh yang
membentuk pada tahapan nafs secara aktual. (Musa Asy’ari, Filsafat Islam, 1999)
Bagi
Freire dalam memahami hakekat manusia dan kesadarannya tidak dapat dilepaskan
dengan dunianya. Hubungan manusia harus dan selalu dikaitkan dengan dunia
dimana ia berada. Dunia bagi manusia adalah bersifat tersendiri, dikarenakan
manusia dapat mempersepsinya kenyataan diluar dirinya sekaligus mempersepsikan
keberadaan didalam dirinya sendiri. Manusia dalam kehadirannya tidak pernah
terpisah dari dunidan hungungganya dengan dunia manusia bersifat unik. Status
unik manusia dengan dunia dikarenakan manusia dalam kapasistasnya dapat
mengetahui, mengetahui merupakan tindakan yang mencerminkan orientasi manusia
terhdap dunia. Dari sini memunculkan kesadaran atau tindakan otentik,
dikarenakan kesadaran merupakan penjelasnan eksistensi penjelasan manusia
didunia. Orientasi dunia yang terpuasat oleh releksi kritiuas serta kemapuan
pemikiran adalah proses mengetahui dan memahami. Dari sini manusia sebagaiu
suatu proses dan ia adalah mahluk sejarah yang terikat dalam ruang dan waktu.
Manusia memiliki kemapuan dan harus bangkit dan terlibat dalam proses sejarah
dengan cara untuk menjadi lebih. (Siti Murtiningsih, Pendidikan sebagai Alat
Perlawanan, 2004)
Manusia
dalam konsep al Quran mengunakan kensep filosofis, seperti halnya dalam proses
kejadian adam mengunakan bahasa metaforis filosofis yang penuh makna dan
simbol. Kejadian manusia yakni esensi kudrat ruhaniah dan atributnya,
sebagaimana dilukiskan dalam kisah adam dapat diredusir menjadi rumus;
Ruh
Tuhan + Lempung Busuk Manusia
Ruh
Tuhan dan lempung busuk merupakan dua simbol individu. Secara aktual manusia
tidak diciptakan dari lempung busuk (huma’in masnun) ataupun ruh Tuhan. Karena
kedua istilah itu harus dikasih makna simbolis. “Lempung busuk” merupakan
simbol kerendahan stagnasi dan pasifitas mutlak. Ruh Tuhan merupakan simbol
dari gerak tanpa henti kearah kesempurnaan dan kemuliaan yang tak terbatas.
Pernyataan al Quran manusia merupakan gabungan ruh Tuhan dan lempung busuk.
Manusia adalah suatu kehendak bebas dan bertanggungjawab menempati suatu
stasiun antara dua kutub yang berlawanan yakni Allah dan Syaitan. Gabungan
tersebut menjadikan mansuia bersifat dialektis. Hal ini yang menjadikan manusia
sebagai realitas dialektis. Dari dialektika tersebut menjadikan manusia
berkehendak bebas mampu menentukan nasibnya sendiri dan bertanggung jawab.
Manusia yang ideal menurut ‘Ali Syariati adalah manusia yang telah
mendialektikakan ruh tuhan dengan lempung dan yang dominant dalam dirinya
adalah ruh Tuhan.(‘Ali Syariati, Paradigma Kaum Tertindas, 2001)
Manusia
merupakan mahluk yang unik yang menjadi salah satu kajian filsafat, bahkan
dengan mengkaji manusia yang merupakan mikro kosmos. Dalam filsafat pembagian
dalam melihat sesuatu materi yang terbagi menjadi dua macam esensi dan
eksistensi. Begitu pula manusia dilihat sebagai materi yang memiliki dua macam
bagian esensi dan eksistensi. Manusia dalam hadir dalam dunia merupakan bagian
yang berada dalam diri manusia esensi dan eksistensi. Esensi dan eksistensi
manusia ini yang menjadikan manusia ada dalam muka bumi. Esensi dan eksistensi
bersifat berjalan secara bersamaan dan dalam perjalananya dalam diri manusia
ada yang mendahulukan esensi dan juga eksistensi. Manusia yang menjalankan
esensi menjadikan ia bersifat tidak bergerak dan menunjau lebih dalam saja
tanpa melakukan aktualisasi. Begitu pula manusia yang menjalankan eksistensi
tanpa melihat esensi maka yang terjadi ia hanya ada tetapi tidak dapat mengada.
Seperti yang telah dikekmukakan oleh ‘Ali Syariati bahwa esensi manusia
merupakan dialektika antara ruh Tuhan dengan lempung dari dialektika tersebut
menjadikan manusia ada dalam mengada. Proses mengadanya manusia merupakan
refleksi kritis terhadap manusia dan realitas sekitar. Sebagaimana perkataan
bijak yang dilontarkan oleh socrates bahwa hidup yang tak direfleksikan tak
pantas untuk dijalanani. Refleksi tersebut menjadikan manusia dapat memahami
diri sendiri, realitas alam dan Tuhan. Manusia yang memahami tentang dirinya
sendiri ma ia akan memahami Penciptanya. Proses pemahaman diri dengan pencipta
menjadikan manusia berproses menuju kesempurnaan yang berada dalam diri
manusia. Proses pemahaman diri dengan refleksi kristis diri, agama dan
realitas, hal tersebut menjadikan diri manusia menjadi insan kamil atau manusia
sempurna.
Bagan Esensi dan
Eksistensi Manusia
No
|
Eksistensi manusia
|
Esensi Kesadaran Fitrah (Basic
Human Drives)
|
Basic Human Values (Basic
Islamic Values)
|
Kebutuhan Dasar (Basic Human
Needs)
|
|
1
|
Al Insan
|
Rasa ingin tahu
|
Intelektual
|
Intelektual
|
|
2
|
Al Basyar
|
Rasa lapar, haus, dingin
|
Biologis
|
Biologis
|
|
3
|
Abdullah
|
Sara ingin berterimakasih dan
bersykur kepada tuhan
|
Spiritual
|
Spiritual
|
|
4
|
An-Nas
|
Rasa tahan sendiri dan
menderita dalam kesepian
|
Sosial
|
Sosial
|
|
5
|
Khalifah fil ardli
|
Butuh keamanan, ketertiban,
kedamaian, kemakmuran, keadilan dan keindahan lingkungan
|
Estetika
|
Estetika
|
|
Manusia
yang melakukan refleksi menyadari bahwa ia mahluk yang berdimensional dan
bersifat unik. Manusia menjadikan ia yang bertanggungjawab pada eksistensinya
yang berbagai macam dimensi tersebut. Manusia dalam eksistensinya sebagai al
insan, al basyar, ‘abdullah, annas, dan khalifah. Manusia dalam eksistensi
tersebut dikarenakan potensi yang berada dalam diri manusia seperti
intelektual, bilogis, spiritual, sosial dan estetika. Sifat dari manusia
tersebut adalah mahluk yang bebas berkreatif dan mahluk bersejarah dengan
diliputi oleh nilai-nilai trasendensi yang selalu menuju kesempurnaan. Hal
tersebut menjadikan manusia yang memiliki sifat dan karaktersistik profetik.
Pembebasan yang dilakukan oleh manusia adalah pembebasan manusia dari korban
penindasan sosialnya dan pembebasan dari alienasi antara eksistensi dan
esensinya sehingga manusia menjadi diri sendiri, tidak menjadi budak orang
lain. Manusia yang bereksistensi dalam kelima tersebut menjadikan ia sebagai
mahluk pengganti Tuhan dan menjalankan tugas Tuhan dalam memakmurkan bumi.
C.
Kedudukan dan peran manusia
Manusia sebagai
mahluk yang berdimensional memiliki peran dan kedudukan yang sangat mulia.
Tetapi sebelum membahas tentang peran dan kedudukan, pengulangan kembali
tentang esensi dan eksistensi manusia. Manusia yang memiliki eksistensi dalam
hidupnya sebagai abdullah, an-nas, al insan, al basyar dan khalifah. Kedudukan
dan peran manusia adalah memerankan ia dalam kelima eksistensi tersebut.
Misalkan sebagai khalifah dimuka bumi sebagai pengganti Tuhan manusia disini
harus bersentuha dengan sejarah dan membuat sejarah dengan mengembangkan esensi
ingin tahu menjadikan ia bersifat kreatif dan dengan di semangati nilai-nilai
trasendensi. Manusia dengan Tuhan memiliki kedudukan sebagai hamba, yang memiliki
inspirasi nilai-nilai ke-Tuhan-an yang tertanam sebagai penganti Tuhan dalam
muka bumi. Manusia dengan manusia yang lain memiliki korelasi yang seimbang dan
saling berkerjasama dala rangka memakmurkan bumi. Manusia dengan alam sekitar
merupakan sarana untuk meningkatkan pengetahuan dan rasa syukur kita terhadap
Tuhan dan bertugas menjadikan alam sebagai subjek dalam rangka mendekatkan diri
kepada Tuhan. Setiap apa yang dilakukan oleh manusia dalam pelaksana pengganti
Tuhan sesuai dengan maqasid asy-syari’ah. Maqasid asy-syari’ah merupakan tujuan
utama diciptanya sebuah hukum atau mungkin nilai-esensi dari hukum, dimana
harus menjaga agama, jiwa, keturunan, harta, akal dan, ekologi. Manusia yang
memegang amanah sebagai khalifah dalam melakukan keputusan dan tindakannya
sesuai dengan maqasid asy-syari’ah.
D. Tujuan
hidup manusia
Pada
hakikatnya tujuan manusia dalam menjalankan kehidupannya mencapai perjumpaan
kembali dengan Penciptanya. Perjumpaan kembali tersebut seperti kembalinya air
hujan kelaut. Kembalinya manusia sesuai dengan asalnya sebagaimana dalam
dimensi manusia yang berasal dari Pencipta maka ia kembali kepada Tuhan sesuai
dengan bentuknya misalkan dalam bentuk imateri maka kembali kepada pencinta
dalam bentuk imateri sedangkan unsur mteri yang berada dalam diri manusia akan
kembali kepada materi yang membentuk jasad manusia. Perjumpaan manusi dengan
Tuhan dalam tahapan nafs, yang spiritual dikarenakan nafs spiritual yang sangat
indah dan Tuhan akan memanggilnya kembali nafs tersebut bersamanya. Nafs yang
dimiliki oleh manusia merupakan nafs yang terbatas akan kembali bersama nafs
yang mutlak dan tak terbatas, dan kembalinya nafs manusia melalui ketauhidan
antara iman dan amal sholeh. Pertemuan nafs manusia dengan nafs Tuhan merupakan
perjumpaan dinamis yang sarat muatan kreatifitas dalam dimensi spiritualitas
yang bercahaya. Kerjasama kreatifitas Tuhan dengan manusia dan melalui
keratifitasnya manusia menaiki tangga mi’raj memasuki cahaya-Nya yang merupakan
cahaya kreatifitas abadi. (Musa Asy’ari, Filsafat Islam, 1999)
Proses
bertemunya nafs manusia dengan Tuhan dalam kondisi spiritual tercapai jika
manusai berusaha membersihkan diri dari sifat yang buruk yang ada padanya.
Perjumpaan nafs tersebut dapat dilihat pada sufi yang memenculkan berbagai
macam ekspresi dalam perjumpaannya. Sebagaimana yang terjadi pada al Halaj,
Yazid al Bustami Rabiah al Adawiyah dan yang lain mereka memiliki ekspreasi dan
kelakuan yang berbeda ketika meresakan berteumnya dengan Pencipta. Tetapi dari
sini manusai mendaki tangga mi’raj menuju nafs Tuhan dengan cinta dan karena
cinta pula terbentuknya alam serta manusia. Setelah menyatunya manusia dalam
dimensi spiritual dengan Pencipta, lantas tak memperdulikan dengan yang lain
dengan menyatu terus dengan pencipta. Tetapi manusia setalah menyatu, memahami
cinta pada Pencita itu dimanifestasikan cinta tersebut untuk sesama manusia dan
alam. Proses penebaran cinta tersebut menjadikan manusia dapat bermanfaat pada
yang lain menjadika diri sebagai cerminan Tuhan dalam muka bumi. Pencitraan
Tuhan dalam diri manusia menjadikan ia sebagai insan kamil dan dalam ajaran
agama dapat menjadi rahmat bagi yang lain baik sesama manusia ataupun alam.
No comments:
Post a Comment